Halaman

Sabtu, 24 November 2012

Hak Suami yang Wajib Ditunaikan Istrinya


Hak Suami yang Wajib Ditunaikan Istrinya

Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulillah, Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, kelurga dan para sahabatnya.

Hak suami atas istri termasuk salah satu hak yang paling agung untuk ditunaikan oleh seorang wanita. Bahkan haknya suami atas istrinya lebih besar daripada haknya istri atas suaminya. Hal berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ

"Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya." (QS. Al-Baqarah: 228)

Al-Jashash berkata: Allah Ta'ala mengabarkan dalam ayat ini, setiap pasangan suami istri memiliki hak atas pasangannya. Dan bahwasanya suami diistimewakan dangan hak atas istrinya yang tak dimiliki istrinya atas dirinya."
Di antara hak-hak tersebut:

1) Kewajiban taat kepada suami. Allah telah jadikan para suami sebagai pemimpin atas istrinya. Ia wajib mengatur, mengarahkan dan mengurusi istrinya sebagaimana pemimpin yang mengurusi rakyatnya. Hal ini karena Allah telah istimewakan kaum lelaki dari fisik, akal, dan beban nafkah. Allah Ta'ala berfirman,

اَلرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka." (QS. Al-Nisa': 34)

2) Siap melayani suaminya dalam urusan ranjang saat ia memintanya. Ini termasuk hak suami atas istrinya setelah suami menyerahkan mahar dari perkawinannya. Maka jika seorang istri menolak untuk melayani suaminya maka ia telah melakukan dosa besar, kecuali ia memiliki udzur syar'i seperti haid, puasa wajib, sakit dan semisalnya.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ

"Apabila seorang suami mengajak istrinya ke ranjangnya (untuk berjima'), lalu ia menolak sehingga suaminya di malam itu murka kepadanya, maka para malaikat melaknatnya hingga pagi." (Muttafaq 'Alaih)

Ibnu Majah meriwayatkan hadits yang dari Abdullah bin Abi Aufa, ia berkata: Saat Mu'adz tiba dari Syam, ia bersujud kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Beliau berkata: "Apa ini wahai Mu'adz?"

Mu'adz menjawab, "Aku telah datang ke Syam, aku temui mereka bersujud kepada para pemimpin dan penguasa mereka. Lalu aku berniat dalam hatiku melakukan itu kepada Anda."

Kemudian Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: "Jangan lakukan itu, kalau saja aku (boleh) memerintahkan seseorang bersujud kepada selain Allah, pastilah aku perintahkan wanita bersujud kepada suaminya. Demi Dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, tidaklah seorang istri disebut telah menunaikan hak Rabb-nya sehingga ia menunaikan hak suaminya. Kalau saja suami memintanya untuk melayaninya sementara ia berada di atas pelana unta, maka hal itu tidak boleh menghalanginya." (Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Ibni Majah)

Maknanya: hadits tersebut memerintahkan kepada para istri untuk mentaati dan siap melayani suaminya. Tidak boleh ia menolak ajakan suami walau ia sudah siap melakukan perjalanan, yakni sudah berada di atas pelana untanya, maka hal ini lebih ditekankan saat ia berada dalam keadaan selain itu.

3) Tidak mengizinkan masuk ke rumahnya orang yang tidak disuka suaminya. Di antara hak suami yang harus ditunaikan istrinya, janganlah ia membawa masuk ke dalam rumahnya orang yang dibenci suaminya.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

لَا يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَلَا تَأْذَنَ فِي بَيْتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ نَفَقَةٍ عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّهُ يُؤَدَّى إِلَيْهِ شَطْرُهُ

"Tidak boleh (haram) bagi wanita untuk berpuasa sementara suaminya ada di sisinya kecuali dengan izinnya. Istri juga tidak boleh memasukkan orang ke dalam rumahnya kecuali dengan izin suaminya. Dan harta yang ia nafkahkan bukan dengan perintahnya, maka setengah pahalanya diberikan untuk suaminya." (HR. Al-Bukhari)

4) Tidak keluar rumah kecuali dengan izin suami.

Syafi'iyah dan Hanabilah berkata, "Ia (istri) tidak boleh keluar untuk menjenguk ayahnya yang sakit kecuali dengan izin suaminya. Ia punya hak untuk melarang istrinya dari hal itu; karena ketaatan kepada suami adalah wajib, maka tidak boleh meninggalkan perkara wajib dengan sesuatu yang tidak wajib."

. . . Ia (istri) tidak boleh keluar untuk menjenguk ayahnya yang sakit kecuali dengan izin suaminya. Ia punya hak untuk melarang istrinya dari hal itu . . .

5) Suami memiliki hak mendisiplinkan istrinya saat ia tidak patuh kepada perintahnya dengan cara yang baik, bukan dengan maksiat. Sebabnya, Allah Ta'ala telah memerintahkan mendisiplinkan wanita dengan hajr(menjauhkan dari tempat tidurnya) dan memukul saat tidak mau taat.

Hanafiyah menyebutkan 4 tempat dibolehkannya suami memukul istrinya dalam rangka mendisiplinkannya, di antaranya: Pertama, tidak mau berhias apabila ia menghendaki istrinya berhias. Kedua, tidak mau menyambut ajakan suami ketika mengajaknya ke ranjangnya padahal dalam keadaan suci. Ketiga, meninggalkan shalat. Keempat, keluar rumah tanpa seizinnya.
Beberapa dalil yang mendasari bolehnya mendisiplinkan wanita:
Firman Allah Ta'ala,

وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ

"Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka." (QS. Al-Nisa': 34)
Firman Allah Ta'ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu." (QS. Al-Tahrim: 6)

Imam Qatadah berkata, "Engkau perintah mereka untuk taat kepada Allah, engkau larang mereka dari bermaksiat kepada Allah, engkau pimpin dan perintah mereka dengan perintah Allah, dan engkau bantu mereka menjalankannya. Jika engkau lihat kemaksiatan kepada Allah maka engkau cegah dan larang mereka darinya."

Serupa dengan itu, Al-Dhahak dan Muqatil berkata, "Kewajiban seorang muslim agar mengajarkan kepada keluarganya dari kerabatnya, budak wanita, dan budak laki-lakinya apa saja yang telah Allah fardhukan kepada mereka dan apa yang telah Dia larang dari mereka." (Lihat: Tafsir Ibni Katsir: 4/392)

6) Istri berkhidmat kepada suaminya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menerangkan, bahwa seorang istri wajib membantu suaminya dengan cara yang ma'ruf. Ini sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi. Khidmatnya wanita kampung berbeda dengan wanita kota, khidmatnya wanita yang kuat berbeda dengan khidmatnya wanita yang lemah." (Al-Fatawa al-Kubra: 4/561)

. . . Kewajiban seorang muslim agar mengajarkan kepada keluarganya dari kerabatnya, budak wanita, dan budak laki-lakinya apa saja yang telah Allah fardhukan kepada mereka dan apa yang telah Dia larang dari mereka. . .

Penutup
Sesungguhnya pemenuhan hak suami oleh istri merupakan ladang kebaikan yang besar, Siapa wanita yang bisa menanaminya dengan sebanyak-banyak tanaman, maka ia akan memanen sebanyak-banyak buah manisnya. Bukankah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah bersabda, "Apabila wanita menunaikan shalat lima waktu, puasa sebulan (Ramadhan), menjaga kemaluannya, dan mentaati suaminya; maka disampaikan kepadanya: masuklah surga dari pintu mana saja yang kamu mau." (Dishahihkan Al-Albani dalam Shahih al-Jami', no. 660)
Diriwayatkan dari al-Husain bin Mihshan, bahwa bibinya pernah datang kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam karena satu keperluan. Saat sudah selesai, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bertanya kepadanya, "apakah kamu punya suami?"
Ia menjawab, "Ya."
Beliau bertanya lagi, "Bagaimana sikapmu terhadapnya?"
Ia menjawab, "Aku tidak kurangi hak-nya kecuali apa yang aku tidak mampu."
Beliau bersabda, "Perhatikan sikapmu terhadapnya, karena ia surga dan nerakamu." (HR. Ahmad dan Al-Hakim, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih al;Targhib wa al-Tarhib, no. 1933)
Maksudnya, suamimu itu adalah sebab kamu bisa masuk surga jika kamu tunaikan hak-nya. dan suamimu itu menjadi sebab kamu masuk neraka jika kamu lalaikan hal itu. Wallahu Ta'ala A'lam.

Jangan Galau, Allah Bersama Kita! Inilah 4 Ayat Anti Galau!

Jangan Galau, Allah Bersama Kita! Inilah 4 Ayat Anti Galau!


Zaman sekarang berbagai masalah makin kompleks. Entah itu komplikasi dari masalah keluarga yang tak kunjung selesai, masalah hutang yang belum terbayar, bingung karena ditinggal pergi oleh sang kekasih, ataupun masalah-masalah lain. Semuanya bisa membuat jiwa seseorang jadi kosong, lemah atau merana.
“Galau!!” merupakan sebuah kata-kata yang sedang naik daun, di mana kata-kata itu menandakan seseorang tengah dilanda rasa kegelisahan, kecemasan, serta kesedihan pada jiwanya. Tak hanya laku di facebook atau twitter saja, bahkan di media televisi pun orang-orang seakan-akan dicekoki dengan kata-kata “galau” tersebut.
Pada dasarnya, manusia adalah sesosok makhluk yang paling sering dilanda kecemasan. Ketika seseorang dihadapkan pada suatu masalah, sedangkan dirinya belum atau tidak siap dalam menghadapinya, tentu jiwa dan pikirannya akan menjadi guncang dan perkara tersebut sudahlah menjadi fitrah bagi setiap insan.

...Jangankan kita manusia biasa, bahkan Rasulullah pun pernah mengalami keadaan keadaan galau pada tahun ke-10 masa kenabiannya...

Jangankan kita sebagai manusia biasa, bahkan Rasulullah Muhammad shalallahu alaihi wasallam pun pernah mengalami keadaan tersebut pada tahun ke-10 masa kenabiannya. Pada masa yang masyhur dengan ‘amul huzni(tahun duka cita) itu, beliau ditinggal wafat oleh pamannya, Abu Thalib, kemudian dua bulan disusul dengan wafatnya istri yang sangat beliau sayangi, Khadijah bintu Khuwailid.
Sahabat Abu Bakar, ketika sedang perjalanan hijrah bersama Rasulullah pun di saat berada di dalam gua Tsur merasa sangat cemas dan khawatir dari kejaran kaum Musyrikin dalam perburuan mereka terhadap Rasulullah. Hingga turunlah surat At-Taubah ayat 40 yang menjadi penenang mereka berdua dari rasa kegalauan dan kesedihan yang berada pada jiwa dan pikiran mereka.
Jangan Galau, Innallaha Ma’ana!
Allah Ta’ala berfirman, “Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kami” (QS. At Taubah: 40)
Ayat di atas mungkin dapat menjadikan kita agar lebih merenungi lagi terhadap setiap masalah apapun yang kita hadapi. Dalam setiap persoalan yang tak kunjung terselesaikan, maka hadapkanlah semua itu kepada Allah Ta’ala. Tak ada satupun manusia yang tak luput dari rasa sedih, tinggal bagaimana kita menghadapi kesedihan dan kegalauan tersebut.

...Allah telah memberikan solusi kepada manusia untuk mengatasi rasa galau yang sedang menghampiri jiwa...

Adakalanya, seseorang berada pada saat-saat yang menyenangkan, tetapi, ada pula kita akan berada pada posisi yang tidak kita harapkan. Semua itu sudah menjdai takdir yang telah Allah Ta’ala tetapkan untuk makhluk-makhluk Nya.
Tetapi, Allah Ta’ala juga telah memberikan solusi-solusi kepada manusia tentang bagaimana cara mengatasi rasa galau atau rasa sedih yang sedang menghampiri jiwa. Karena dengan stabilnya jiwa, tentu setiap orang akan mampu bergerak dalam perkara-perkara positif, sehingga dapat membuat langkah-langkahnya menjadi lebih bermanfaat, terutama bagi dirinya lalu untuk orang lain.
Berikut ini adalah kunci dalam mengatasi rasa galau;

1. Sabar

Hal pertama yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ketika menghadapi cobaan yang tiada henti adalah dengan meneguhkan jiwa dalam bingkai kesabaran. Karena dengan kesabaran itulah seseorang akan lebih bisa menghadapi setiap masalah berat yang mendatanginya.
Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar” (Qs. Al-Baqarah 153).
Selain menenangkan jiwa, sabar juga dapat menstabilkan kacaunya akal pikiran akibat beratnya beban yang dihadapi.

2. Adukanlah semua itu kepada Allah

Ketika seseorang menghadapi persoalan yang sangat berat, maka sudah pasti akan mencari sesuatu yang dapat dijadikan tempat mengadu dan mencurahkan isi hati yang telah menjadi beban baginya selama ini. Allah sudah mengingatkan hamba-Nya di dalam ayat yang dibaca setiap muslim minimal 17 kali dalam sehari:
“Hanya kepada-Mulah kami menyembah, dan hanya kepada-Mulah kami meminta pertolongan” (QS. Al Fatihah 5).

...ketika keluhan itu diadukan kepada Sang Maha Pencipta, maka akan meringankan beban berat yang kita derita...

Mengingat bahwa manusia adalah makhluk yang banyak sekali dalam mengeluh, tentu ketika keluhan itu diadukan kepada Sang Maha Pencipta, maka semua itu akan meringankan beban berat yang selama ini kita derita.
Rasulullah shalallahi alaihi wasallam ketika menghadapi berbagai persoalan pun, maka hal yang akan beliau lakukan adalah mengadu ujian tersebut kepada Allah Ta’ala. Karena hanya Allah lah tempat bergantung bagi setiap makhluk.

3. Positive thinking

Positive thinking atau berpikir positif, perkara tersebut sangatlah membantu manusia dalam mengatasi rasa galau yang sedang menghinggapinya. Karena dengan berpikir positif, maka segala bentuk-bentuk kesukaran dan beban yang ada pada dalam diri menjadi terobati karena adanya sikap bahwa segala yang kesusahan-kesusahan yang dihadapi, pastilah mempunyai jalan yang lebih baik yang sudah ditetapkan oleh Allah Ta’ala. Sebagaimana firman-Nya;
“Karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (Qs Al-Insyirah 5-6).

4. Dzikrullah (Mengingat Allah)

Orang yang senantiasa mengingat Allah Ta’ala dalam segala hal yang dikerjakan. Tentunya akan menjadikan nilai positif bagi dirinya, terutama dalam jiwanya. Karena dengan mengingat Allah segala persoalan yang dihadapi, maka jiwa akan menghadapinya lebih tenang. Sehingga rasa galau yang ada dalam diri bisa perlahan-perlahan dihilangkan. Dan sudah merupakan janji Allah Ta’ala, bagi siapa saja yang mengingatnya, maka didalam hatinya pastilah terisi dengan ketenteraman-ketenteraman yang tidak bisa didapatkan melainkan hanya dengan mengingat-Nya.

...Bersabar, berpikir positif, ingat Allah dan mengadukan semua persoalan kepada-Nya adalah solusi segala persoalan...

Sebagaimana firman-Nya:
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah lah hati menjadi tenteram” (Qs Ar-Ra’du 28).
Berbeda dengan orang-orang yang lalai kepada Allah, yang di mana jiwa-jiwa mereka hanya terisi dengan rasa kegelisahan, galau, serta kecemasan semata. Tanpa ada sama sekali yang bisa menenangkan jiwa-Nya.
Tentunya, sesudah mengetahui tentang faktor-faktor yang dapat mengatasi persoalan galau, maka jadilah orang yang selalu dekat kepada Allah Ta’ala. Bersabar, berpikir positif, mengingat Allah, serta mengadukan semua persoalan kepada-Nya merupakan kunci dari segala persoalan yang sedang dihadapi. Maka dari itu, Janganlah galau, karena sesungguhnya Allah bersama kita

Jumat, 23 November 2012

Pahala Menunggu Kebaikan

Ditulis Oleh: Munzir Almusawa
Sunday, 04 November 2012

Pahala Menunggu Kebaikan
Senin, 29 Oktober 2012




قال رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَا يَزَالُ الْعَبْدُ فِي صَلَاةٍ مَا كَانَ فِي الْمَسْجِدِ يَنْتَظِرُ الصَّلَاةَ مَا لَمْ يُحْدِثْ.

(صحيح البخاري)

Sabda Rasulullah SAW: “Seorang hamba masih tetap dalam (pahala) shalat selama ia di masjid menunggu shalat, selama ia tidak batal wudhu” (Shahih Bukhari)

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

حَمْدًا لِرَبٍّ خَصَّنَا بِمُحَمَّدٍ وَأَنْقَذَنَا مِنْ ظُلْمَةِ اْلجَهْلِ وَالدَّيَاجِرِ اَلْحَمْدُلِلَّهِ الَّذِيْ هَدَانَا بِعَبْدِهِ اْلمُخْتَارِ مَنْ دَعَانَا إِلَيْهِ بِاْلإِذْنِ وَقَدْ نَادَانَا لَبَّيْكَ يَا مَنْ دَلَّنَا وَحَدَانَا صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبـَارَكَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ اَلْحَمْدُلِلّهِ الَّذِي جَمَعَنَا فِي هَذَا الْمَجْمَعِ اْلكَرِيْمِ وَفِي هَذَا الشَّهْرِ اْلعَظِيْمِ وَفِي الْجَلْسَةِ الْعَظِيْمَةِ نَوَّرَ اللهُ قُلُوْبَنَا وَإِيَّاكُمْ بِنُوْرِ مَحَبَّةِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَخِدْمَةِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَاْلعَمَلِ بِشَرِيْعَةِ وَسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.

Limpahan puji kehadirat Allah subhanahu wata’ala Yang telah mengundang kita dan sanubari kita, dengan diberi keluhuran dan cahaya untuk melangkahkan kaki kita, serta mengorbankan apa yang perlu kita korbankan dari harta kita demi kehadiran kita di tempat yang mulia ini. Sungguh cahaya keluhuran diturunkan oleh Allah subhanahu wata’ala kepada nama-nama hamba yang terpilih untuk mendapatkan keluhuran ini, maka nama kita semua tercantum dalam kelompok yang mendapatkan cahaya Rabbani, untuk hadir dalam cahaya pengampunan Allah subhanahu wata’ala, hadir dalam kelembutan Allah subhanahu wata’ala, hadir dalam kelompok yang disayangi Allah, yang selalu dituntun oleh Allah subhanahu wata’ala untuk menuju keluhuran yang lebih dari yang telah kita lewati, dari kehinaan menuju pada keluhuran dan dari keluhuran menuju pada keluhuran yang lebih mulia, demikianlah rahasia undangan Allah subhanahu wata’ala kepada kita semua di malam hari ini, maka seharusnyalah kita mensyukuri nikmat ini kepada Allah subhanahu wata’ala, dan mengagungkan serta memujiNya, dimana dengan memuji Allah subhanahu wata’ala maka kita akan semakin luhur dan semakin dicintai Allah subhanahu wata’ala. Lihatlah rahasia keluhuran Allah subhanahu wata’ala di alam semesta ini, yang mana kesemuanya merupakan bentuk pelajaran bagi kita dalam kehidupan dunia ini. Sebagaimana kita melihat makhluk-makhluk ciptaan Allah subhanahu wata’ala yang ada, kesemuanya menuntun kita untuk berfikir akan keagungan Allah subhanahu wata’ala Yang Maha Menciptakan. Dan kesemua itu juga menuntun kita untuk mengenal hal-hal yang luhur, mengenal hal-hal kehinaan, mengenal hal yang bermanfaat dan mengenal pula hal yang tidak bermanfaat. Dapat kita renungkan dalam kehidupam setiap hewan, dimana banyak diantara hewan yang memakan dedauan, seperti halnya ulat ketika memakan dedaunan maka ulat itu dapat menjadi sutera. Namun ketika dedaunan tersebut dimakan oleh kambing maka akan dapat menghasilkan susu, dan ketika dedaunan itu dimakan oleh kijang maka akan menghasilkan misik (mimyak wangi), dan jika dedaunan itu dimakan oleh lebah maka lebah akan menghasilkan madu, dan terkadang dimakan oleh hewan yang lain namun tidak menghasilkan apa-apa, padahal dari sumber makanan yang sama yaitu dedaunan namun Allah subhanahu wata’ala mampu menjadikan dari setiap hewan tersebut sesuatu yang berbeda dan beraneka ragam. Demikianlah jika kita mengambil pengetahuan atau ilmu-ilmu tersebut maka hal itu akan menuntun kita kepada Allah subhanahu wata’ala dan membuka rahasia samudera manfaat yang demikian luas, namun jika pengetahuan tersebut kita lupakan tanpa kita bertafakkur didalamnya maka akan terlewatkan begitu saja, sedangkan waktu terus berputar dan semakin cepat berlalu dimana waktu yang telah terlewatkan tidak akan pernah lagi kembali kepada kita. Dijelaskan oleh para Ilmuwan, dimana mereka menemukan suatu penemuan yang mengejutkan yaitu resonansi schumann, dimana getaran alami anatara bumi dan ionosfer. Dimana pada tahun 1950 resonansi tersebut di ukur pada skala 7,8 hertz , namun pada tahun 1980 resonansi itu berada pada skala ukur 11 hertz, hal yang sangat mengejutkan karena frekuensi menunjukkan mempercepat waktu, dimana waktu 24 jam bagaikan 16 jam. Maka hal ini merupakan penemuan yang sangat mengejutkan dimana waktu berakhirnya kehidupan di bumi ini telah semakin dekat. Sebagaimana kita rasakan di zaman dulu waktu tidak berlalu secepat ini, dan hal ini telah dikabarkan oleh sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi bahwa yang termasuk tanda-tanda hari kiamat adalah semakin berdekatan dan cepatnya zaman.

Waktu semakin dipercepat oleh Allah subhanahu wata’ala, maka seharusnyalah waktu yang tersisa ini diisi dengan memperbanyak ibadah, memperbaiki hubungan kita dengan Allah yaitu ibadah kita kepada Allah subhanahu wata’ala , serta memperbaiki hubungan kita dengan sesama makhluk yaitu semakin mempererat hubungan kita dengan yang lain dengan peduli keadaan mereka seperti dengan memperkenalkan majelis-majelis ta’lim atau majelis dzikir kepada yang belum mengenalnya, bahkan diantara mereka banyak yang memerangi dan mencaci orang-orang yang hadir di majelis ta’lim dan majelis dzikir, maka selayaknya untuk selalu kita doakan agar mendapat hidayah dari Allah subhanahu wata’ala. Maka semakin cepatnya waktu berlalu, semakin dekat pula detik-detik perjumpaan kita dengan Allah subhanahu wata’ala. Sungguh seseorang yang senantiasa merindukan dan ingin berjumpa dengan Allah subhanahu wata’ala, maka waktu yang terlewati dalam siang dan malamnya terlewatkan kemuliaan. Sebagaimana hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang menjelaskan bahwa seseorang masih berada dalam pahala kemuliaan shalat selama ia dalam keadaan menunggu shalat dan ia tetap dalam keadaan suci ( tidak berhadats ). Disebutkan dalam riwayat lain dalam Shahih Al Bukhari bahwa suatu waktu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar di pertengahan malam, dan di saat itu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mendapati para sahabat menunggu kedatangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk melakukan shalat bersama beliau shallallahu ‘alaihi wasallam,, maka ketika itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sungguh kalian masih terhitung dalam pahala melakukan shalat sebab menunggu waktu dilakukan shalat“. Maka mulai dari adzan Isya’ hingga pertengahan malam, mereka terhitung dalam melakukan shalat, meskipun diantara mereka ada yang hanya duduk menunggu, diantara mereka ada yang berdzikir, diantara mereka ada yang bertafakkur dan lainnya, akan tetapi kesemua itu dihitung oleh Allah subhanahu wata’ala sebagai pahala shalat karena mereka dalam keadaan menanti shalat. Oleh sebab itu sering kita dapati para ulama’ kita jika kita perhatikan ketika mereka berada dalam suatu majelis ilmu, dan ketika itu suara adzan telah dikumandangkan namun mereka tetap melanjutkan mejelis ilmu tersebut. Kita ketahui sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa sebaik-baik perbuatan adalah melakukan shalat pada awal waktu. Akan tetapi hadits tersebut bersifat “Aam Makhsus”, yaitu bersifat umum namun terdapat pengecualiannya yaitu diantaranya jika terdapat suatu hal yang menyibukkan kita dan bukan termasuk hal yang bersifat duniawi, tetapi bersifat ukhrawi seperti majelis ta’lim atau majelis dzikir, maka tidak mengapa untuk dilanjutkan dan menunda waktu shalat, justru kita akan mendapatkan pahala melakukan shalat selama menanti dilakukannya shalat jama’ah. Disebutkan juga dalam riwayat lain dalam Shahih Al Bukhari dimana ketika sayyidina Bilal telah mengumandangkan adzan, dan para sahabat telah melakukan shalat sunnah qabliyah serta sayyidina Bilal telah siap untuk melantunkan iqamah shalat, namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika itu berdiri dan menemui seorang tamu yang datang keapda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan berbicara dengan orang tersebut dalam waktu yang cukup lama. Maka Al Imam Asqalani menjelaskan bahwa hal tersebut menunjukkan diperbolehkannya menunda waktu pelaksanaan shalat dari waktu adzan ketika disibukkan dengan hal-hal yang bersifat akhirat seperti ta’lim, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat menunggu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam untuk melakukan shalat bersama mereka.

Dan ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar di pertengahan malam, dan mendapati para sahabat sedang menunggu beliau untuk melakukan shalat jamaah, maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkata : “Sungguh kalian masih terhitung dalam pahala melakukan shalat sebab menunggu waktu dilakukan shalat”. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasalla bersabda bahwa 100 tahun yang akan datang tidak akan ada yang hidup diantara mereka yang ada di malam itu. Begitu pula kita semua yang hadir di malam ini apakah 100 tahun yang akan datang kita masih ada di dunia ini atau kita semua telah dianggil oleh Allah subhanahu wata’ala dan kembali ke alam barzakh. Dan tentunya kita selalu berdoa semoga Allah subhanahu wata’ala memanjangkan usia kita dalam rahmat dan keberkahan Allah subhanahu wata’ala. Maka selayaknya kita tanamkan dan bangkitkan sifat sabar untuk menanti dalam hal kebaikan, sebagaimana menunggu waktu shalat juga terhitung dalam pahala melakukan shalat. Al Imam Hasan berkata : “Menunggu kebaikan adalah kebaikan”, seperti halnya seseorang yang tiba di mejelis di awal waktu dan acara belum dimulai maka ia terhitung dalam pahala menghadiri majelis, terlebih lagi seseorang yang selalu ada dalam dirinya penantian untuk berjumpa dengan Allah subhanahu wata’ala, maka setiap detik dari waktu-waktunya terhitung dalam kemuliaan yaitu menanti perjumpaan dengan Allah subhanahu wata’ala. Dikatakan oleh guru mulia Al Habib Umar bin Hafizh bahwa kesabaran mempunyai banyak macam yang diantaranya sabar atas hal yang tidak kita inginkan, dan sabar atas hal yang kita inginkan namun belum tercapai. Sebagaimana kehidupan kita ini dipenuhi oleh hal-hal yang tidak kita inginkan, begitu juga dipenuhi dengan hal-hal yang kita inginkan namun belum terjadi. Demikianlah kehidupan di siang dan malam kita yang selalu membutuhkan kesabaran, namun manusia terkadang memiliki batas kemampuan kesabaran maka satu-satunya hal yang harus selalu dilakukan adalah berdoa kepada Allah subhanahu wata’ala, dimana Allah subhanahu wata’ala Maha Mampu merubah setiap kejadian dan ketentuan-ketentuan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

لَا يَرُدُّ الْقَضَاءَ إِلاَّّ الدُّعَاءُ

“ Tidak ada yang dapat merubah qadha’ (keputusan Allah) kecuali doa”

Doa seorang hamba kepada Allah subhanahu wata’ala dapat menjadikannya dikasihani oleh Allah subhanahu wata’ala. Sungguh Allah tidak membutuhkan hamba-hambaNya, mereka yang baik atau pun mereka yang jahat, sebagaimana firmanNya dalam hadits qudsi :

ياَ عِبَادِيْ إِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوْا ضُرِّيْ فَتَضُرُّوْنِيْ وَلَنْ تَبْلُغُوْا نَفْعِيْ فَتَنْفَعُوْنِيْ يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَتقى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَازَادَ ذلِكَ فِي مُلْكِيْ شَيْئًا، يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَفجر قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا نَقَصَ ذلِكَ مِنْ مُلْكِي شَيْئًا

“Wahai hamba-hambaKu, sesungguhnya perbuatan buruk kalian kepadaKu tidaklah merugikanKu, dan perbuatan baik kalian kepadaKu tidaklah bermanfaat untukKu. Wahai hamba-hambaKu seandainya orang yang pertama dan terakhir dari kamu, jin dan manusia dari kalangan kalian berada pada hati seseorang yang paling taqwa diantara kalian, hal itu tidak menambah kerajaanKu sedikit pun. Wahai hamba-hambaKu, seandainya orang yang pertama dan yang terakhir dari kalian, manusia dan jin dari kalangan kalian berada pada hati orang yang paling jahat dari kalian niscaya hal itu tidaklah mengurangi kerajaanKu barang sedikitpun.”

Maka perbanyaklah doa dan munajat, yang mana hal itu dapat merubah masa depan kehidupan kita menjadi lebih baik dan lebih cerah di dunia dan akhirat dengan kehendak Allah subhanahu wata’ala. Disebutkan bahwa sayyidina Ali Zainal Abidin As Sajjad, beliau disebut As Sajjad karena dalam setiap malamnya ia melakukan shalat sebanyak 1000 sujud. Disebutkan dalam kitab Al Ghurar bahwa Al Imam Thawus Ar mengatakan bahwa suatu waktu di sepertiga malam ketika ia mendekati maqam Ibrahim untuk melakukan shalat disana, namun ia mendapati seseorang yang terus menerus melakukan shalat di tempat hingga mendekati waktu Subuh kemudian ia berhenti melakukan shalat dan berdoa, dengan doa berikut yang di ulang-ulang :

عَبْدُكَ بِفِنَائِكَ، مِسْكِيْنُكَ بِفِنَائِكَ، فَقِيْرُكَ بِفِنَائِكَ، سَائِلُكَ بفنائك

“ HambaMu di halamanMu (dihadapanMu), hambaMu yang miskin di hadapanMu, hambaMu yang faqir di hadapanMu, hambaMu pengemis dihadapanMu”

Dan orang tersebut adalah sayyidina Ali Zainal Abidin. Kemudian Al Imam Thawus berkata : “Tidaklah aku membaca doa tersebut dan aku berada dalam kesulitan kecuali kesulitan tersebut disingkirkan oleh Allah subhanahu wata’ala”. Demikianlah doa yang sangat agung yang dilantunkan oleh sayyidina Ali Zainal Abidin As Sajjad, begitu pula didikan beliau kepada keturunan beliau yaitu Al Imam Muhammad Al Baqir, dimana sebagaimana yan disampaikan oleh putranya : “Ayahku ketika berdoa di malam hari ia berkata :

اَللَّهُمَّ أَمَرْتَنِيْ فَلَمْ أَأْتَمِرْ وَنَهَيْتَنِيْ فَلَمْ أَنْزَجر، هَا أناَ عَبْدُكَ بَيْنَ يَدَيْكَ مُذْنِبٌ مُخْطِئٌ مُقِرٌّ بِذَنْبِيْ فَلاَ أَعْتَذِرْ

“ Wahai Allah, Engkau telah memberiku perintah namun tidak aku kerjakan, dan Engkau memberiku larangan namun tidak aku tinggalkan, inilah aku hambaMu dihadapanMu dalam keadaan berdosa dan bersalah serta mengakui akan dosaku dan tidak menutupinya dengan alasan apapun”

Dan disebutkan bahwa Al Imam Muhammad Al Baqir ketika berdoa ia menyebut nama Allah hingga nafasnya terputus, kemudian kembali menyeru nama Allah hingga nafasnya habis. Demikianlah keadaan para shalihin dan indahnya munajat dan doa mereka kepada Allah subhanahu wata’ala. Kita bermunajat kepada Allah subhanahu wata’ala, semoga Allah melimpahkan rahmat dan kebahagiaan kepada kita, dan mengangkat segala kesulitan dari kita, amin allahumma amin.

فَقُوْلُوْا جَمِيْعًا

Ucapkanlah bersama-sama

يَا الله...يَا الله... ياَ الله.. ياَرَحْمَن يَارَحِيْم ...لاَإلهَ إلَّاالله...لاَ إلهَ إلاَّ اللهُ اْلعَظِيْمُ الْحَلِيْمُ...لاَ إِلهَ إِلَّا الله رَبُّ اْلعَرْشِ اْلعَظِيْمِ...لاَ إِلهَ إلَّا اللهُ رَبُّ السَّموَاتِ وَرَبُّ الْأَرْضِ وَرَبُّ اْلعَرْشِ اْلكَرِيْمِ...مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ،كَلِمَةٌ حَقٌّ عَلَيْهَا نَحْيَا وَعَلَيْهَا نَمُوتُ وَعَلَيْهَا نُبْعَثُ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى مِنَ اْلأمِنِيْنَ

Cinta Sejati Dalam Islam

Cinta Sejati Dalam Islam





Makna ‘Cinta Sejati’ terus dicari dan digali. Manusia dari zaman ke zaman seakan tidak pernah bosan membicarakannya. Sebenarnya? apa itu ‘Cinta Sejati’ dan bagaimana pandangan Islam terhadapnya?

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga terlimpahkan kepada nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Masyarakat di belahan bumi manapun saat ini sedang diusik oleh mitos ‘Cinta Sejati‘, dan dibuai oleh impian ‘Cinta Suci’. Karenanya, rame-rame, mereka mempersiapkan diri untuk merayakan hari cinta “Valentine’s Day”.

Pada kesempatan ini, saya tidak ingin mengajak saudara menelusuri sejarah dan kronologi adanya peringatan ini. Dan tidak juga ingin membicarakan hukum mengikuti perayaan hari ini. Karena saya yakin, anda telah banyak mendengar dan membaca tentang itu semua. Hanya saja, saya ingin mengajak saudara untuk sedikit menyelami: apa itu cinta? Adakah cinta sejati dan cinta suci? Dan cinta model apa yang selama ini menghiasi hati anda?

Seorang peneliti dari Researchers at National Autonomous University of Mexico mengungkapkan hasil risetnya yang begitu mengejutkan. Menurutnya: Sebuah hubungan cinta pasti akan menemui titik jenuh, bukan hanya karena faktor bosan semata, tapi karena kandungan zat kimia di otak yang mengaktifkan rasa cinta itu telah habis. Rasa tergila-gila dan cinta pada seseorang tidak akan bertahan lebih dari 4 tahun. Jika telah berumur 4 tahun, cinta sirna, dan yang tersisa hanya dorongan seks, bukan cinta yang murni lagi.

Menurutnya, rasa tergila-gila muncul pada awal jatuh cinta disebabkan oleh aktivasi dan pengeluaran komponen kimia spesifik di otak, berupa hormon dopamin, endorfin, feromon, oxytocin, neuropinephrine yang membuat seseorang merasa bahagia, berbunga-bunga dan berseri-seri. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, dan terpaan badai tanggung jawab dan dinamika kehidupan efek hormon-hormon itu berkurang lalu menghilang. (sumber: www.detik.com Rabu, 09/12/2009 17:45 WIB).

Wah, gimana tuh nasib cinta yang selama ini anda dambakan dari pasangan anda? Dan bagaimana nasib cinta anda kepada pasangan anda? Jangan-jangan sudah lenyap dan terkubur jauh-jauh hari.

Anda ingin sengsara karena tidak lagi merasakan indahnya cinta pasangan anda dan tidak lagi menikmati lembutnya buaian cinta kepadanya? Ataukah anda ingin tetap merasakan betapa indahnya cinta pasangan anda dan juga betapa bahagianya mencintai pasangan anda?

Saudaraku, bila anda mencintai pasangan anda karena kecantikan atau ketampanannya, maka saat ini saya yakin anggapan bahwa ia adalah orang tercantik dan tertampan, telah luntur.

Bila dahulu rasa cinta anda kepadanya tumbuh karena ia adalah orang yang kaya, maka saya yakin saat ini, kekayaannya tidak lagi spektakuler di mata anda.

Bila rasa cinta anda bersemi karena ia adalah orang yang berkedudukan tinggi dan terpandang di masyarakat, maka saat ini kedudukan itu tidak lagi berkilau secerah yang dahulu menyilaukan pandangan anda.

Saudaraku! bila anda terlanjur terbelenggu cinta kepada seseorang, padahal ia bukan suami atau istri anda, ada baiknya bila anda menguji kadar cinta anda. Kenalilah sejauh mana kesucian dan ketulusan cinta anda kepadanya. Coba anda duduk sejenak, membayangkan kekasih anda dalam keadaan ompong peyot, pakaiannya compang-camping sedang duduk di rumah gubuk yang reot. Akankah rasa cinta anda masih menggemuruh sedahsyat yang anda rasakan saat ini?

Para ulama’ sejarah mengisahkan, pada suatu hari Abdurrahman bin Abi Bakar radhiallahu ‘anhu bepergian ke Syam untuk berniaga. Di tengah jalan, ia melihat seorang wanita berbadan semampai, cantik nan rupawan bernama Laila bintu Al Judi. Tanpa diduga dan dikira, panah asmara Laila melesat dan menghujam hati Abdurrahman bin Abi Bakarradhiallahu ‘anhu. Maka sejak hari itu, Abdurrahman radhiallahu ‘anhu mabok kepayang karenanya, tak kuasa menahan badai asmara kepada Laila bintu Al Judi. Sehingga Abdurrahman radhiallahu ‘anhu sering kali merangkaikan bair-bait syair, untuk mengungkapkan jeritan hatinya. Berikut di antara bait-bait syair yang pernah ia rangkai:

Aku senantiasa teringat Laila yang berada di seberang negeri Samawah

Duhai, apa urusan Laila bintu Al Judi dengan diriku?

Hatiku senantiasa diselimuti oleh bayang-bayang sang wanita

Paras wajahnya slalu membayangi mataku dan menghuni batinku.

Duhai, kapankah aku dapat berjumpa dengannya,

Semoga bersama kafilah haji, ia datang dan akupun bertemu.

Karena begitu sering ia menyebut nama Laila, sampai-sampai Khalifah Umar bin Al Khattabradhiallahu ‘anhu merasa iba kepadanya. Sehingga tatkala beliau mengutus pasukan perang untuk menundukkan negeri Syam, ia berpesan kepada panglima perangnya: bila Laila bintu Al Judi termasuk salah satu tawanan perangmu (sehingga menjadi budak), maka berikanlah kepada Abdurrahman radhiallahu ‘anhu. Dan subhanallah, taqdir Allah setelah kaum muslimin berhasil menguasai negeri Syam, didapatkan Laila termasuk salah satu tawanan perang. Maka impian Abdurrahmanpun segera terwujud. Mematuhi pesan Khalifah Umar radhiallahu ‘anhu, maka Laila yang telah menjadi tawanan perangpun segera diberikan kepada Abdurrahman radhiallahu ‘anhu.

Anda bisa bayangkan, betapa girangnya Abdurrahman, pucuk cinta ulam tiba, impiannya benar-benar kesampaian. Begitu cintanya Abdurrahman radhiallahu ‘anhu kepada Laila, sampai-sampai ia melupakan istri-istrinya yang lain. Merasa tidak mendapatkan perlakuan yang sewajarnya, maka istri-istrinya yang lainpun mengadukan perilaku Abdurrahman kepada ‘Aisyah istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan saudari kandungnya.

Menyikapi teguran saudarinya, Abdurrahman berkata: “Tidakkah engkau saksikan betapa indah giginya, yang bagaikan biji delima?”

Akan tetapi tidak begitu lama Laila mengobati asmara Abdurrahman, ia ditimpa penyakit yang menyebabkan bibirnya “memble” (jatuh, sehingga giginya selalu nampak). Sejak itulah, cinta Abdurrahman luntur dan bahkan sirna. Bila dahulu ia sampai melupakan istri-istrinya yang lain, maka sekarang iapun bersikap ekstrim. Abdurrahman tidak lagi sudi memandang Laila dan selalu bersikap kasar kepadanya. Tak kuasa menerima perlakuan ini, Lailapun mengadukan sikap suaminya ini kepada ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Mendapat pengaduan Laila ini, maka ‘Aisyahpun segera menegur saudaranya dengan berkata:


يا عبد الرحمن لقد أحببت ليلى وأفرطت، وأبغضتها فأفرطت، فإما أن تنصفها، وإما أن تجهزها إلى أهلها، فجهزها إلى أهلها.


“Wahai Abdurrahman, dahulu engkau mencintai Laila dan berlebihan dalam mencintainya. Sekarang engkau membencinya dan berlebihan dalam membencinya. Sekarang, hendaknya engkau pilih: Engkau berlaku adil kepadanya atau engkau mengembalikannya kepada keluarganya. Karena didesak oleh saudarinya demikian, maka akhirnya Abdurrahmanpun memulangkan Laila kepada keluarganya. (Tarikh Damaskus oleh Ibnu ‘Asakir 35/34 & Tahzibul Kamal oleh Al Mizzi 16/559)

Bagaimana saudaraku! Anda ingin merasakan betapa pahitnya nasib yang dialami oleh Laila bintu Al Judi? Ataukah anda mengimpikan nasib serupa dengan yang dialami oleh Abdurrahman bin Abi Bakar radhiallahu ‘anhu?(1)

Tidak heran bila nenek moyang anda telah mewanti-wanti anda agar senantiasa waspada dari kenyataan ini. Mereka mengungkapkan fakta ini dalam ungkapan yang cukup unik:Rumput tetangga terlihat lebih hijau dibanding rumput sendiri.

Anda penasaran ingin tahu, mengapa kenyataan ini bisa terjadi?

Temukan rahasianya pada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:


الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ. رواه الترمذي وغيره


“Wanita itu adalah aurat (harus ditutupi), bila ia ia keluar dari rumahnya, maka setan akan mengesankannya begitu cantik (di mata lelaki yang bukan mahramnya).” (Riwayat At Tirmizy dan lainnya)

Orang-orang Arab mengungkapkan fenomena ini dengan berkata:


كُلُّ مَمْنُوعٍ مَرْغُوبٌ


Setiap yang terlarang itu menarik (memikat).

Dahulu, tatkala hubungan antara anda dengannya terlarang dalam agama, maka setan berusaha sekuat tenaga untuk mengaburkan pandangan dan akal sehat anda, sehingga anda hanyut oleh badai asmara. Karena anda hanyut dalam badai asmara haram, maka mata anda menjadi buta dan telinga anda menjadi tuli, sehingga andapun bersemboyan:Cinta itu buta. Dalam pepatah arab dinyatakan:


حُبُّكَ الشَّيْءَ يُعْمِي وَيُصِمُّ


Cintamu kepada sesuatu, menjadikanmu buta dan tuli.

Akan tetapi setelah hubungan antara anda berdua telah halal, maka spontan setan menyibak tabirnya, dan berbalik arah. Setan tidak lagi membentangkan tabir di mata anda, setan malah berusaha membendung badai asmara yang telah menggelora dalam jiwa anda. Saat itulah, anda mulai menemukan jati diri pasangan anda seperti apa adanya. Saat itu anda mulai menyadari bahwa hubungan dengan pasangan anda tidak hanya sebatas urusan paras wajah, kedudukan sosial, harta benda. Anda mulai menyadari bahwa hubungan suami-istri ternyata lebih luas dari sekedar paras wajah atau kedudukan dan harta kekayaan. Terlebih lagi, setan telah berbalik arah, dan berusaha sekuat tenaga untuk memisahkan antara anda berdua dengan perceraian:


فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ. البقرة 102


“Maka mereka mempelajari dari Harut dan Marut (nama dua setan) itu apa yang dengannya mereka dapat menceraikan (memisahkan) antara seorang (suami) dari istrinya.” (Qs. Al Baqarah: 102)

Mungkin anda bertanya, lalu bagaimana saya harus bersikap?

Bersikaplah sewajarnya dan senantiasa gunakan nalar sehat dan hati nurani anda. Dengan demikian, tabir asmara tidak menjadikan pandangan anda kabur dan anda tidak mudah hanyut oleh bualan dusta dan janji-janji palsu.

Mungkin anda kembali bertanya: Bila demikian adanya, siapakah yang sebenarnya layak untuk mendapatkan cinta suci saya? Kepada siapakah saya harus menambatkan tali cinta saya?

Simaklah jawabannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:


تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا ، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ. متفق عليه


“Biasanya, seorang wanita itu dinikahi karena empat alasan: karena harta kekayaannya, kedudukannya, kecantikannya dan karena agamanya. Hendaknya engkau menikahi wanita yang taat beragama, niscaya engkau akan bahagia dan beruntung.” (Muttafaqun ‘alaih)


Dan pada hadits lain beliau bersabda:


إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوهُ إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِى الأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيضٌ. رواه الترمذي وغيره.


“Bila ada seorang yang agama dan akhlaqnya telah engkau sukai, datang kepadamu melamar, maka terimalah lamarannya. Bila tidak, niscaya akan terjadi kekacauan dan kerusakan besar di muka bumi.” (Riwayat At Tirmizy dan lainnya)

Cinta yang tumbuh karena iman, amal sholeh, dan akhlaq yang mulia, akan senantiasa bersemi. Tidak akan lekang karena sinar matahari, dan tidak pula luntur karena hujan, dan tidak akan putus walaupun ajal telah menjemput.


الأَخِلاَّء يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلاَّ الْمُتَّقِينَ. الزخرف 67


“Orang-orang yang (semasa di dunia) saling mencintai pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertaqwa.” (Qs. Az Zukhruf: 67)

Saudaraku! Cintailah kekasihmu karena iman, amal sholeh serta akhlaqnya, agar cintamu abadi. Tidakkah anda mendambakan cinta yang senantiasa menghiasi dirimu walaupun anda telah masuk ke dalam alam kubur dan kelak dibangkitkan di hari kiamat? Tidakkah anda mengharapkan agar kekasihmu senantiasa setia dan mencintaimu walaupun engkau telah tua renta dan bahkan telah menghuni liang lahat?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِى الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ. متفق عليه


“Tiga hal, bila ketiganya ada pada diri seseorang, niscaya ia merasakan betapa manisnya iman: Bila Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dibanding selain dari keduanya, ia mencintai seseorang, tidaklah ia mencintainya kecuali karena Allah, dan ia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkan dirinya, bagaikan kebenciannya bila hendak diceburkan ke dalam kobaran api.” (Muttafaqun ‘alaih)

Saudaraku! hanya cinta yang bersemi karena iman dan akhlaq yang mulialah yang suci dan sejati. Cinta ini akan abadi, tak lekang diterpa angin atau sinar matahari, dan tidak pula luntur karena guyuran air hujan.

Yahya bin Mu’az berkata: “Cinta karena Allah tidak akan bertambah hanya karena orang yang engkau cintai berbuat baik kepadamu, dan tidak akan berkurang karena ia berlaku kasar kepadamu.” Yang demikian itu karena cinta anda tumbuh bersemi karena adanya iman, amal sholeh dan akhlaq mulia, sehingga bila iman orang yang anda cintai tidak bertambah, maka cinta andapun tidak akan bertambah. Dan sebaliknya, bila iman orang yang anda cintai berkurang, maka cinta andapun turut berkurang. Anda cinta kepadanya bukan karena materi, pangkat kedudukan atau wajah yang rupawan, akan tetapi karena ia beriman dan berakhlaq mulia. Inilah cinta suci yang abadi saudaraku.

Saudaraku! setelah anda membaca tulisan sederhana ini, perkenankan saya bertanya: Benarkah cinta anda suci? Benarkah cinta anda adalah cinta sejati? Buktikan saudaraku…

Wallahu a’alam bisshowab, mohon maaf bila ada kata-kata yang kurang berkenan atau menyinggung perasaan.

MAKNA CINTA YANG SESUNGGUHNYA DALAM ISLAM

MAKNA CINTA YANG SESUNGGUHNYA DALAM ISLAM




Kata pujangga cinta letaknya di hati. Meskipun tersembunyi, namun getarannya tampak sekali. Ia mampu mempengaruhi pikiran sekaligus mengendalikan tindakan. Sungguh, Cinta dapat mengubah pahit menjadi manis, debu beralih emas, keruh menjadi bening, sakit menjadi sembuh, penjara menjadi telaga, derita menjadi nikmat, dan kemarahan menjadi rahmat. Cintalah yang mampu melunakkan besi, menghancurkan batu karang, membangkitkan yang mati dan meniupkan kehidupan padanya serta membuat budak menjadi pemimpin. Inilah dasyatnya cinta (Jalaluddin Rumi).


Namun hati-hati juga dengan cinta, karena cinta juga dapat membuat orang sehat menjadi sakit, orang gemuk menjadi kurus, orang normal menjadi gila, orang kaya menjadi miskin, raja menjadi budak, jika cintanya itu disambut oleh para pecinta palsu. Cinta yang tidak dilandasi kepada Allah. Itulah para pecinta dunia, harta dan wanita. Dia lupa akan cinta Allah, cinta yang begitu agung, cinta yang murni.

Cinta Allah cinta yang tak bertepi. Jikalau sudah mendapatkan cinta-Nya, dan manisnya bercinta dengan Allah, tak ada lagi keluhan, tak ada lagi tubuh lesu, tak ada tatapan kuyu. Yang ada adalah tatapan optimis menghadapi segala cobaan, dan rintangan dalam hidup ini. Tubuh yang kuat dalam beribadah dan melangkah menggapai cita-cita tertinggi yakni syahid di jalan-Nya.


Tak jarang orang mengaku mencintai Allah, dan sering orang mengatakan mencitai Rasulullah, tapi bagaimana mungkin semua itu diterima Allah tanpa ada bukti yang diberikan, sebagaimana seorang arjuna yang mengembara, menyebarangi lautan yang luas, dan mendaki puncak gunung yang tinggi demi mendapatkan cinta seorang wanita. Bagaimana mungkin menggapai cinta Allah, tapi dalam pikirannya selalu dibayang-bayangi oleh wanita/pria yang dicintai. Tak mungkin dalam satu hati dipenuhi oleh dua cinta. Salah satunya pasti menolak, kecuali cinta yang dilandasi oleh cinta pada-Nya.


Di saat Allah menguji cintanya, dengan memisahkanya dari apa yang membuat dia lalai dalam mengingat Allah, sering orang tak bisa menerimanya. Di saat Allah memisahkan seorang gadis dari calon suaminya, tak jarang gadis itu langsung lemah dan terbaring sakit. Di saat seorang suami yang istrinya dipanggil menghadap Ilahi, sang suami pun tak punya gairah dalam hidup. Di saat harta yang dimiliki hangus terbakar, banyak orang yang hijrah kerumah sakit jiwa, semua ini adalah bentuk ujian dari Allah, karena Allah ingin melihat seberapa dalam cinta hamba-Nya pada-Nya. Allah menginginkan bukti, namun sering orang pun tak berdaya membuktikannya, justru sering berguguran cintanya pada Allah, disaat Allah menarik secuil nikmat yang dicurahkan-Nya.


Itu semua adalah bentuk cinta palsu, dan cinta semu dari seorang makhluk terhadap Khaliknya. Padahal semuanya sudah diatur oleh Allah, rezki, maut, jodoh, dan langkah kita, itu semuanya sudah ada suratannya dari Allah, tinggal bagi kita mengupayakan untuk menjemputnya. Amat merugi manusia yang hanya dilelahkan oleh cinta dunia, mengejar cinta makhluk, memburu harta dengan segala cara, dan enggan menolong orang yang papah. Padahal nasib di akhirat nanti adalah ditentukan oleh dirinya ketika hidup didunia, Bersungguh-sungguh mencintai Allah, ataukah terlena oleh dunia yang fana ini. Jika cinta kepada selain Allah, melebihi cinta pada Allah, merupakan salah satu penyebab do’a tak terijabah.


Bagaimana mungkin Allah mengabulkan permintaan seorang hamba yang merintih menengadah kepada Allah di malam hari, namun ketika siang muncul, dia pun melakukan maksiat.


Bagaimana mungkin do’a seorang gadis ingin mendapatkan seorang laki-laki sholeh terkabulkan, sedang dirinya sendiri belum sholehah.


Bagaimana mungkin do’a seorang hamba yang mendambakan rumah tangga sakinah, sedang dirinya masih diliputi oleh keegoisan sebagai pemimpin rumah tangga..


Bagaimana mungkin seorang ibu mendambakan anak-anak yang sholeh, sementara dirinya disibukkan bekerja di luar rumah sehingga pendidikan anak terabaikan, dan kasih sayang tak dicurahkan.


Bagaimana mungkin keinginan akan bangsa yang bermartabat dapat terwujud, sedangkan diri pribadi belum bisa menjadi contoh teladan


Banyak orang mengaku cinta pada Allah dan Allah hendak menguji cintanya itu. Namun sering orang gagal membuktikan cintanya pada sang Khaliq, karena disebabkan secuil musibah yang ditimpakan padanya. Yakinlah wahai saudaraku kesenangan dan kesusahan adalah bentuk kasih sayang dan cinta Allah kepada hambanya yang beriman…


Dengan kesusahan, Allah hendak memberikan tarbiyah terhadap ruhiyah kita, agar kita sadar bahwa kita sebagai makhluk adalah bersifat lemah, kita tidak bisa berbuat apa-apa kecuali atas izin-Nya. Saat ini tinggal bagi kita membuktikan, dan berjuang keras untuk memperlihatkan cinta kita pada Allah, agar kita terhindar dari cinta palsu.


Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan hambanya yang betul-betul berkorban untuk Allah Untuk membuktikan cinta kita pada Allah, ada beberapa hal yang perlu kita persiapkan yaitu:


1) Iman yang kuat


2) Ikhlas dalam beramal


3) Mempersiapkan kebaikan Internal dan eksternal. kebaikan internal yaitu berupaya keras untuk melaksanakan ibadah wajib dan sunah. Seperti qiyamulail, shaum sunnah, bacaan Al-qur’an dan haus akan ilmu. Sedangkan kebaikan eksternal adalah buah dari ibadah yang kita lakukan pada Allah, dengan keistiqamahan mengaplikasikannya dalam setiap langkah, dan tarikan nafas disepanjang hidup ini. Dengan demikian InsyaAllah kita akan menggapai cinta dan keridhaan-Nya.


Senin, 30 April 2012

Mencintai Sejantan Ali

Mencintai Sejantan Ali




Kalau cinta berawal dan berakhir karena Allah,
maka cinta yang lain hanya upaya menunjukkan cinta padaNya,
pengejawantahan ibadah hati yang paling hakiki:
selamanya memberikan apa yang bisa kita berikan,
selamanya membahagiakan orang-orang yang kita cintai…

- M. Anis Matta -


Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak terkisahkan pada siapapun. Fathimah. Karib kecilnya, putri tersayang dari sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya. Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ‘Abdullah Sang terpercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya!




Maka gadis itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada sang nabi tiba-tiba diam. Fatimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan!


‘Ali tak tau apakah perasaan itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fatimah dilamar oleh seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tidak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, radhiyallahu ‘anhu


‘Ali merasa diuji karena terasa apalah ia dibanding dengan Abu Bakr. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakr lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ‘Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan Rasul-Nya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bark menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ‘Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya..


Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan da’wah Abu Bakr; ‘Ustman, ‘Abdurrahman Ibn ‘Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini yang tak mungkin dilakuakn kanak-kanak kurang pergaulan seperti ‘Ali. Lihatlah berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ‘Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan ‘Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insyaAllah lebih bisa membahagiakan Fathimah. ‘Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.

“Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ‘Ali. “Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”


Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.


Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu. Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ‘Ali terus menjaga semangatmya untuk mempersiapkan diri.


Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh-musuh Allah bertekuk lutut. ‘Umar ibn Al-Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah.


‘Umar memang masuk Islam belakangan, setelah 3 tahun setelah ‘Ali dan Abu Bakr. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dasyat yang hanya ‘Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ‘Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata,” Aku datang bersama Abu Bakr dan ‘Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ‘Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ‘Umar..” Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah.


Lalu bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ‘Umar melakukannya. ‘Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan Rasul. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari ia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi. ‘Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. “Wahai kaum Quraisy”, katanya. “Hari ini putera Al-Khaththab akan berhijrah. Barang siapa yang ingin istrinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ‘Umar dibalik bukit ini!”


‘Umar adalah lelaki pemberani. ‘Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulullah! Tidak! ‘Umar jauh lebih layak. Dan ‘Ali ridha.


Mencintai tak berarti harus memiliki. Mencintai berarti pengorbanan untuk kebahagiaan orang yang dicintai. Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan, itulah keberanian. Atau mempersilakan, itulah pengorbanan.


Maka ‘Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ‘Umar juga ditolak. Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti Ustman sang miliaderkah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ‘Ash ibn Rabi’ kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh berbeda dengannya. Di antara muhajirin hanya Abdurrahman ibn ‘Auf yang setara dalam harta dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ‘Ubadah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?


“Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman ansharnya itu membangunkan lamunan. “Mengapa engkau tak coba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu baginda Nabi..”


“Aku?”, tanyanya tak yakin.


“Ya. Engkau wahai saudaraku!”


“Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”


“Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”


‘Ali pun menghadap Sang Nabi, maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya.


Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantinya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang. “Engkau pemuda sejati wahai ‘Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggung jawab atas rasa cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.


Lamaran berjawab, “Ahlan wa sahlan!”. Kata itu meluncur tenang bersama senyum sang Nabi. Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabipun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko.


Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.


“Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”


“Entahlah..”


“Menurut kalian apakah ‘Ahlan wa sahlan’ berarti sebuah jawaban!”


“Satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wasahlan kawan! Dua-duanya berarti ya!”


Dan ‘Alipun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang. Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ‘Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti. ‘Ali adalah gentlemen sejati. Tidak heran jika pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tidak ada pemuda kecuali ‘Ali.”


Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan disini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ‘Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah Pengorbanan. Yang kedua adalah Keberanian. Dan bagi pecinta sejati, selalu ada yang manis dalam mengecap keduanya. Di jalan cinta para pejuang, kita belajar bertanggung jawab atas setiap perasaan kita…

http://www.theghuroba.blogspot.com

Sabtu, 28 April 2012

إعلام الزمرة السيارة بتحقيق حكم الصلاة في الطيّارة

إعلام الزمرة السيارة

بتحقيق حكم الصلاة في الطيّارة

بقلم الفقير إلى عفو الله تعالى

إسماعيل عثمان زين اليمني المكي الشافعي

عفى الله تعالى عنه آمين



بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله الذي أوضح أحكام الدين، واختص بفقهها وفهم مدلولاتها من اختاره من المؤمنين. والصلاة والسلام على سيدنا محمد المبعوث بالشريعة الغراء والمَحَجَّة البيضاء، ليلُها كنهارها منيرة للمستبصرين. وعلى آله وصحبه وتابعيهم بحسن اليقين إلى يوم الدين.

أما بعد، فهذه رسالة مختصرة، وعبارة محرّرة حداني إلى تسطيرها اختلاف كثير من طلبة العلم في مسألة هي من الدين بمكان عظيم. وذكرها والبحث فيها مما يتصدر كتب الفقه وغيرها من كتب الدين. وهي جزئية من جزئيات الصلاة التي هي ثاني أركان الإسلام، ومفزع المؤمنين إلى ربهم كل يوم وليلة عدة مرات. ومتاح عظيم للعبد يناجى فيها ربه بلذيذ المناجات.

وقد تضمنت الشريعة المطهرة بيان أحكامها حملة وتفصيلا، وقام العلماء الأعلام بضبط هيئتها وبيان قوانينها بضوابط تكفل بيان ما قد يحدث من حوادث العصر ونوازل الدهر إلى يوم الدين.

وقد يكون حكم الحادث منصوصا مسطورا في كتبهم، يسهل تناوله للذكيّ والغبيّ، وقد يكون لقوة ظهوره وبداهة معرفته لا يحتاج إلى تسطير فهو في حكم المنصوص عند الأذكياء من أهل العلم. ومن هذا القبيل اشتراط كون المصلى متصلا بقرار الأرض مباشرة أو بواسطة سواء كانت الصلاة فرضا أو نفلا، وسواء كان ماشيا أو راكبا أو محمولا، فلا بد أن يكون متصلا بقرار الأرض ولو على ظهر دابة أو سرير محمول على أعناق الرجال أو على قمة جبل أو على أغصان شجرة. أما إذا كان معلقا في الهواء فلا تصح الصلاة حينئذٍ ولو كان محمولا في شيء كصندوق لعدم نسبته إلى القرار ولو بالواسطة.

ومن هنا يأتي الكلام على مسألة الصلاة في الطيارة التي هي مقصود هذه الرسالة. وهي من النوازل العصرية، والمسائل الحالية، كثيرة الوقوع، ولكنها داخلة تحت العبارات السابقة واللاحقة كما ستعرفه إن شاء الله. والأصل في ذلك قوله صلى الله عليه وسلم: “جعلت لي الأرض مسجدا وطهورا” الحديث. وهو وارد مورد الامتنان، فيفيد عموم الأحوال.

وعبارة فتح الوهاب شرح منهج الطلاب في أركان الصلاة: “وثالثها قيام في فرض بنصب ظهر ولو باستناد إلى شيئ كجدار”، قال العلامة الجمل (قوله كجدار) أي وإن كان بحيث لو رفع لسقط لوجود اسم القيام. نعم لو استند بحيث يمكنه رفع قدميه بطلت صلاته لأنه معلق نفسه وليس بقائم، ومنه يؤخذ قول بعضهم يجب وضع القدمين على الأرض فلو أخذ اثنان بعضديه ورفعاه في الهواء حتى صلى لم تصح صلاته إهـ.

وعبارة شرح الروض الجزء الأول صفحة 136 (فرع) يشترط في صحة صلاة الفريضة الإستقرار إلخ. قال المحشي (قوله يشترط في صحة صلاة الفريضة الإستقرار) فلو حمله رجلان ووقفا في الهواء أو صلى على دابة سائرة في هودج لم تصح صلاته إهـ.

وفي فتح الجواج شرح الإرشاد ومن ثم قال العبادي يجب وضع القدمين على الأرض فلو أخذ اثنان بعضديه ورفعاه في الهواء حتى صلى لم تصح إي فلا بد من الإعتماد ولو على أحدهما إهـ.

وفي المجموع للإمام النووي رحمه الله (فرع) في مسائل تتعلق بالقيام – إلى أن قال – هذا في استناد لا يسلب اسم القيام فإن استند متكئاً بحيث لو رفع عن الأرض قدميه لأمكنه البقاء لم تصح صلاته بلا خلاف لأنه ليس بقائم بل معلق نفسه بشيئ إهـ.

فحاصل هذه العبارات أن الواجب في الصلاة إتصال المصلى بقرار الأرض مباشرة أو بواسطة سواء كانت الصلاة فرضا أو نفلا. نعم الفريضة يشترط فيها وجوب الإستقرار بخلاف النافلة على الدابة أو نحوها وهي سائرة كما لا يخفى على من له ملكة فقهية ومعرفة بمدارك المسائل ورويّة.

وقد اطلعت على رسالة للشيخ العلامة على بن حسين المالكي المكي سماها حكم الصلاة في الطيارة قرر فيها بطلان الصلاة في الطيارة لعدم التمكن من السجود على الأرض أوما اتصل بها. ونجن نثبتها هنا حرفيا ويكون إستدلالنا بما جاء فيها بالأولى لأنه إذا كان البطلان لعدم السجود على الأرض أو ما اتصل بها فلأن يكون أيضا لعدم اتصال المصلى بقدميه بما ذكر من باب أولى لأن السجود قد عهد فيه الإكتفاء بالإيماء عند العجز لكن اتصال المصلى بقرار الأرض ولو بواسطة لم يغتفروه ولا في حال من الأحوال إذ هو مدلول منطوق الحديث السابق.

وهاك نص الرسالة المذكورة: {“حكم الصلاة في الطيارة” بسم الله الرحمن الرحيم استدل فقهائنا المالكية بقوله صلى الله عليه وسلم: “جعلت الأرض مسجدا” الحديث، على أن حقيقة السجود شرعا هي ما عرفه به بعضهم بقوله مس الأرض أو ما اتصل بها من ثابت بالجبهة إهـ. واحترز بقوله أو ما اتصل بها عن نحو السرير المعلق. وبقوله من ثابت عن الفراش المنفوش جدا. ودخل به السرير الكائن من خشب لا من شريط. نعم أجازه بعضهم للمريض. وظاهر قوله ما اتصل بها ولو كان أعلى من سطح ركبتي المصلى وذلك كالمفتاح أو السبحة ولو اتصلت به والمحفظة وهو كذلك. نعم الأكمل خلافه، هذا هو الأظهر كما في عبد الباقي وغيره. أنظر مجموع الشيخ الأمير. أفاده دسوقي على مختصر الدردير. والحاصل كما في فتاوى والدي الشيخ حسين أن المرتفع عن الأرض إن كان ارتفاعه كثيرا فلا يجزئ السجود عليه كما تفيده المدوّنة وهو المعتمد خلافا لقول غير واحد إنه مكروه.

وأما إن كان ارتفاعه قليلا كسبحة ومفتاح ومحفظة فلا خلاف في صحة السجود عليه وإن كان خلاف الأولى. وأما السجود على الأرض المرتفعة فمكروه فقط. وأما السجود على غير المتصل بالأرض كسرير معلق فلا خلاف في عدم صحته أي السجود عليه إهـ. قلت وذلك لأن السجود عليه ليس بسجود شرعيّ إذ حقيقته كما علمت أن يكون على الأرض أو ما اتصل بها. والسرير المعلق لم يتصل بالأرض. ومنه يعلم بالأولى أن سجود راكب الطيارة التي حدث في هذا الزمان ركوبها في الأسفار للأقطار البعيدة في صلاته فرضا أو نفلا مستقبلا جهة القبلة لا خلاف في عدم صحته. وعليه فالواجب على راكبها أن يجمع جمع تقديم بين الظهرين وبين العشائين. إذا أراد ركوبها بعد دخول وقت الأولى أو يؤخرها الآخرة وقت الثانية إذا ركبها قبل دخول وقت الأولى. ويتفق مع مأمور سيرها على ذلك وعلى نزوله لصلاة الصبح آخر وقتها وإلا صدق عليه قول الإمام مالك (أيركب حيث لا يصلى أو يخرجها عن وقتها ويل لمن ترك الصلاة) أي حقيقة أو حكما، إذ صلاته بها مع ما علمت ليست بصلاة بل هي معدومة شرعاً، والمعدوم شرعا كالمعدوم حسًّا فافهم تغنم. هذا تحقيق المقام فاحفظه. وصلى الله على سيدنا محمد خاتم الأنبياء والمرسلين وعلى آله وصحبه أجمعين. انتهت الرسالة المذكورة حرفيا.

إذا تقرر هذا وهو عدم صحة الصلاة في الطيارة بمعنى عدم إجزائها وأنها لا تسقط الفرض عن المكلف فأقول – وبالله التوفيق للصواب -: إنه يجب على راكب الطيارة إذا دخل وقت الصلاة وهو فيها معلق في الهواء ولم يغلب على ظنه أنها تهبط إلى الأرض قبل خروج الوقت أن يصلي فيها كيف أمكنه ولو جالسا في الكرسيّ بالإيماء ويكون ذلك لحرمة الوقت لا غير. فإذا نزل إلى قرار الأرض قضى تلك الصلاة. وفائدة صلاته في الطيارة لحرمة الوقت أنه لو مات قبل التمكن من القضاء لا يؤاخذ في الآخرة، لأنه قد عمل مقدوره وما في وسعه.

وقول الشيخ العلامة على بن حسين المالكي في رسالته (ويتفق مع مأمور سيرها على ذلك وعلى نزوله لصلاة الصبح أخر وقتها) هذا مستحيل عادة فلا يمكن أن يطاع أي راكب مهما كان بل ولا يصدر طلبه من أي راكب لأن الذي استقر عليه نظام سير الطيران كما هو معلوم جليا عدم مراعاة الأمور الدينية وبالأخص أوقات الصلوات ولا يؤخذ ذلك في الإعتبار أصلا بل الذي يشاهد في بعض رحلات الطيارة أن الكثير من ركابها يخرجون عن الحشمة وعن الآداب الإسلامية وقد يكون فيها الكثير من الكفار فيجري فيها شرب الخمور ويقع فيها من كثير من النساء التعرى والسفور وتحمير الوجوه بالدمام والإسفيذاج وتزجيج الحواجب والأجفان بما يسمونه بالمكياج، أجفانها مطلية بألوان الرصاص وأظفارهن كأنها من نحاس فهن يمثلن حلية أهل النار. كل ذلك قصدا للفتنة وتحديا وأمنا لمكر الله عز وجل. وتارة تضع البرنيطة على رأسها وتارة ترفعها وتظهر ذوائبها وعقاصها ولا يدخل قلوبَهم خوف الله وخشيته ولا ينظرون إلى أنهم معلقون في الهواء بين السماء والأرض يخشى عليهم بطشه وسطوته. ولكن سبحان الله الحليم الصبور.

نسأل الله أن يوفقنا وجميع المسلمين لاستخضار خشيته في كل وقت وحين. اللهم احفظنا بحفظك التام يا ذا الجلال والإكرام. وصلى الله وسلم على سيدنا محمد مسك الختام وعلى آله وصحبه البررة الكرام

والتابعين لهم بإحسان إلى يوم القيام. سبحان

ربك رب العزة عما يصفون

وسلام على المرسلين

والحمد لله رب

العالمين.



كتبه الفقير إلى رحمة ربه المنان

إسماعيل عثمان زين لطف الله به